Ini adalah salah satu kegiatan yang saya lakukan ketika masih di SMA. Such a wonderful moment :)
Dari sekian banyak kunjungan wisata edukasi budaya yang pernah saya lakukan di beberapa tempat, mungkin tempat inilah yang masih membekas dalam ingatan saya. Saya sangat beruntung sekali mendapat pengalaman berkunjung ke acara ini. Bermula dari keinginan saya dan teman-teman untuk menggali informasi untuk bahan karya tulis kami, tak disangka, kami ternyata diundang untuk datang ke acara ini, tapi dengan dresscode yang tidak sembarangan yaitu busana adat Bali.
Gerebeg Aksara. Itulah nama acara yang saya datangi beberapa waktu yang lalu. Acara yang dilakukan di Desa Adisthana Panyatur Saren, Karangasem, Bali ini merupakan salah satu dari rangkaian upacara Mahkota Budaya yang telah dilakukan sejak tanggal 19 Mei 2000. Tujuan dari diadakannya acara kebudayaan Gerebeg Aksara ini adalah untuk mengembalikan nilai-nilai sejarah yang telah tergerus zaman seiring meningkatnya degradasi moral yang terjadi di negeri ini.
Uniknya, dalam kegiatan ini ada hal yang membuat saya tertegun sekaligus bangga. Hidup bersama dan berdampingan dengan golongan yang bebeda agama di beberapa daerah merupakan hal yang mungkin sulit dilakukan jika kurangnya toleransi antar masing-masing golongan. Namun di dusun Saren Jawa dan Saren Bali, lingkungan desa Adhistana Panyatur Saren, golongan agama Islam dan Hindu dapat hidup berdampingan dengan harmonis oleh karena toleransi yang tinggi.
Perpaduan budaya yang terlihat tidak biasa itu menjadi harmonis ketika pemain rebana beragama Islam mengiringi tarian Bali yang bernuansa Hindu. Gamelan-Rebana terdiri dari dua pihak yang duduk berdampingan di bale gong. Di kelompok sebelah kanan, para pemain gamelan berkumpul, dan pemain Rebana berada di sebelah kiri. Masing-masing instrumen alat musik letaknya memusat. Iringan Gamelan-Rebana ini digunakan pada saat pertengahan acara, sebagai pengiring dari pembukaan selubung Prasasti “Revolusi Moralitas Negeri” yang berisikan tentang degradasi moral yang ada di negeri kita yang harus segera mendapat pertolongan agar moralitas negeri ini tidak tambah carut-marut.
Benar-benar pengalaman yang sangat berkesan ketika tidak hanya saya dan dua teman saya yang hadir. Beberapa mahasiswa yang berasal dari Universitas Udayana jurusan Sastra Bali turut hadir, juga beberapa seniman ternama yang berasal dari Bali, seperti ibu Cok Sawitri. Kegiatan budaya ini benar-benar membuka pola pikir saya bahwa perbedaan dan keragaman bukan menjadi alasan untuk menghambat terjalinnya rasa persatuan. Besarnya rasa toleransi dan terciptanya komunikasi yang baik akan membawa perbedaan menjadi satu kesatuan yang harmonis.
Dari sekian banyak kunjungan wisata edukasi budaya yang pernah saya lakukan di beberapa tempat, mungkin tempat inilah yang masih membekas dalam ingatan saya. Saya sangat beruntung sekali mendapat pengalaman berkunjung ke acara ini. Bermula dari keinginan saya dan teman-teman untuk menggali informasi untuk bahan karya tulis kami, tak disangka, kami ternyata diundang untuk datang ke acara ini, tapi dengan dresscode yang tidak sembarangan yaitu busana adat Bali.
Gerebeg Aksara. Itulah nama acara yang saya datangi beberapa waktu yang lalu. Acara yang dilakukan di Desa Adisthana Panyatur Saren, Karangasem, Bali ini merupakan salah satu dari rangkaian upacara Mahkota Budaya yang telah dilakukan sejak tanggal 19 Mei 2000. Tujuan dari diadakannya acara kebudayaan Gerebeg Aksara ini adalah untuk mengembalikan nilai-nilai sejarah yang telah tergerus zaman seiring meningkatnya degradasi moral yang terjadi di negeri ini.
Uniknya, dalam kegiatan ini ada hal yang membuat saya tertegun sekaligus bangga. Hidup bersama dan berdampingan dengan golongan yang bebeda agama di beberapa daerah merupakan hal yang mungkin sulit dilakukan jika kurangnya toleransi antar masing-masing golongan. Namun di dusun Saren Jawa dan Saren Bali, lingkungan desa Adhistana Panyatur Saren, golongan agama Islam dan Hindu dapat hidup berdampingan dengan harmonis oleh karena toleransi yang tinggi.
Dua temen yang ikutan juga, @dikmang_amorita & @rzkicha16 |
Perpaduan budaya yang terlihat tidak biasa itu menjadi harmonis ketika pemain rebana beragama Islam mengiringi tarian Bali yang bernuansa Hindu. Gamelan-Rebana terdiri dari dua pihak yang duduk berdampingan di bale gong. Di kelompok sebelah kanan, para pemain gamelan berkumpul, dan pemain Rebana berada di sebelah kiri. Masing-masing instrumen alat musik letaknya memusat. Iringan Gamelan-Rebana ini digunakan pada saat pertengahan acara, sebagai pengiring dari pembukaan selubung Prasasti “Revolusi Moralitas Negeri” yang berisikan tentang degradasi moral yang ada di negeri kita yang harus segera mendapat pertolongan agar moralitas negeri ini tidak tambah carut-marut.
Toleransi umat beragama |
Benar-benar pengalaman yang sangat berkesan ketika tidak hanya saya dan dua teman saya yang hadir. Beberapa mahasiswa yang berasal dari Universitas Udayana jurusan Sastra Bali turut hadir, juga beberapa seniman ternama yang berasal dari Bali, seperti ibu Cok Sawitri. Kegiatan budaya ini benar-benar membuka pola pikir saya bahwa perbedaan dan keragaman bukan menjadi alasan untuk menghambat terjalinnya rasa persatuan. Besarnya rasa toleransi dan terciptanya komunikasi yang baik akan membawa perbedaan menjadi satu kesatuan yang harmonis.